Deru angin mendesir perlanan. Dinginnya udara meresap ke lubuk
terdalam, sedang mata terpana rayuan kicau sang Bangau, menari di atas
air bersama mahluk-mahluk tetumbuhan yang turut menyilaukan mata
sekeliling mayapada.
Oh... angin Ia bernyanyi tak henti menari.
Di ufuk timur sana, mentari pagi yang seolah layu nan kusam, perlahan mulai naik dan kini bertahta juga di atas pucuknya.
Aku mengenang sejenak kisah para pejuang bangsa ini; Betapa tulus pengabdian mereka.
Sungguh
mulia Bung Karno, Hatta, Syahrir, dan Natsir. Mereka telah lahir dan
menginfaqkan hidupnya di jalan perjuangan, padahal mereka sangat mudah
memilih jalan kemapanan saat itu di zamannya.
Kutatap alam
Tuhan hari ini begitu indah, ohh... inikah syurga? Gumamku dalam diam,
lalu melangkah setapak demi setapak, mendaki gunung, menyeberang
sungai dan tibalah saatnya hariku di Panggalo.
"Laskar
Panggalo" benar-benar nyata bukan kisah novel atau film-film
inspiratif. Aku melihat, Aku merasakan, karenanya Aku percaya.
"Aku
di Negeri Panggalo, Aku di Negeriku sendiri, Aku tidak dalam mimpi
atau sedang berpetualang ke puncak Jaya Wijaya, Aku tak sedang berada di
Negeri Tibet seperti kisah-kisah banyak petualang dunia".
Ya Tuhan ...
Airnya dingin mengalirkan seribu satu kerinduan dan sunyi. Aku rindu pada Panggaloku ...
Kawan,
... Kau harus tahu Negeriku ini indah seindah taman syurga, Negeriku
ini damai sedamai alam Nirwana, Negeriku negeri yang merdeka kawan.
Tetapi,
jangan tanyakan soal keramaian kawan, sebab ini sebuah lorong sunyi.
Bukan alam dimana manusia sibuk dengan hiruk-pikuk dan bising aktifitas
manusia millinium. Bukan tempat para aktor kehidupan yang disibukkan
sejuta urusan kefanaan. Negeriku Negeri dongeng.
Lalu apa yang kurasa kini, apa yang kulihat dan kucari di sini?
Adalah
Panggalo, sebuah nama di atas puncak tinggi Quarles ini, ia begitu
indah, bak purnama dibalut bintang alfa cetrus dan gugusan milyar
galaksi alam semesta.
Tetapi ku heran, mengapa ada wajah-wajah
insan yang sulit kunamai, entah mengapa terkadang bahagia mesti dicampur
lara duka. Rasanya ingin kugugat Tuhan.
Entah mengapa angin pilu
tak henti jua berhembus, entah mengapa Dewa-Dewa meruntuhkan Nirwana,
Tuhan mengusik taman-syurga syurga?
Aku melihat anak-anak
tak bersandal apalagi sepatu pergi ke sekolah, mengingatkanku pada
masa silam, ketika Aku sedabg berada diantara mereka, dan orang-orang
sekampung hidup masih diterpai badai kesunyian.
Malam menjadi
bisu, siang tak ada manusia, sedang mereka berada di tempat yang jauh
ke alam nyata. Mereka mencari hidup untuk menghadap Sang Maha Hidup.
Di pagi buta mereka pergi ke ladang, hingga malam memaksanya untuk kembali menjumpai takdirnya. Tidur!
Laskar Panggalo kini terperangkap sepi, anak-anak pulang sekolah.
"Celaia' malai, soho' Naoa Guhu"
Teriak mereka, lalu serentak menyerbu sungai depan sana, nyebur diri dan mandi tanpa sabun. *hehehe
Aku
melihat Kalma sigembala berlari, konon namanya disadur dari suatu
ketika kunjungan Bupati ke Negeri Panggalo, Negeri kami ini.
Di hari yang istimewa buat Panggalo, Kalma telah lahir dan tinggallah nama Pak Bupati di sana.
Kalma
berlari sekuat tenaga, ia menemui Pinamile, ia khawatir tak dapat
makan banyak atau kenapa-napa dengan talinya yang terlalu pendek.
" Hei... bangun, cepat !" Teriaknya pada Pinamile.
Anak gembala itu menarik tali sekuat tenaga, sedang Pinamile terdiam seribu bahasa.
Aku menyaksikan dari dekat, Kalma panik dan mulai membenci dirinya sendiri, ia tak kuasa menahan kepiluan.
" Ibu, ...". Teriaknya menggaung.
" Coba lihat ini, inilah hasilnya Aku sekolah ".
Ia seakan kehilangan dunianya. Matanya sembab dan wajahnya layu bagai kehabisan nafas.
Kawan,...
Aku ingin mengatakan bahwa ternyata di kehidupan ini masih ada
kesetiaan kawan. Aku kira kesetiaan telah lama mi'raj ke langit saat
berakhirnya cerita Romie and Juliet.
Namun Aku percaya
masih ada ketika melihat Kalma dirundung pilu, kemudian para laskar
Panggalo yang sebelumnya bersendagurau tiba-tiba melegam dalam pusaran
air Sungai Mayamba. Semua diam, semua kaku, semua menjerit mengiba
kesedihan, sedang Kalma tak kuasa menatap kuda kesayangannya terbaring
kaku.
***
Setiap zaman ada aktornya dan setiap ruang waktu selalu ada karya peradaban manusia.
Aku
mulai percaya bahwa siapapun di kehidupan ini telah memiliki jalannya
sendiri, jalan hidup adalah pilihan menuju kebahagiaan.
Bagi
setiap anak lelaki yang pernah lahir di kehidupan ini, di Negeriku
Panggalo, menunggang Kuda adalah kesejatiannya. Lelaki mana yang tak
menunggang kuda, maka ia tak pantas sebagai lelaki sejati.
Laskar Panggalo kemudian merapatkan diri.
"
Sabar ya Kalma, Kudamu ini pasti ada penggantinya nanti". Mereka
serentak pulang dengan sebuah lagu, "Kemesraan ini, akan kukenang selalu
".
Itulah Laskar Panggalo yang nyata. Merekalah anak-anak sejati. Anak-anak Negeri yang polos dan halus.
Mereka tidak sedikitpun tahu bahwa di luar sana masih ada kehidupan. Bagi mereka dunia ini adalah Panggalo. Dan hanya Panggalo.
Bersambung