Ritual Penjemputan Tamu Masyarakat Ulumanda
![](file:///C:/DOCUME%7E1/pm/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Satu hal
yang tidak bisa dinafikan adalah kuatnya culturalisme-sosial
ditengah-tengah kehidupan umat manusia. Di hampir semua kehidupan budaya
sebagai identitas sosial selalu melekat kuat mengilhami langka para penganutnya
kemanapun ia berada. Oleh karena itu pada hakekatnya budayalah yang menempati kasta tertinggi dalam merespon
dialektika kehidupan lakuh social di masyarakat.
Masyarakat ulumanda
sebagai element bangsa yang berbudaya tentu tak ketinggalan memposisikan budaya
dan kearifan local begitu istimewa, eksotik dan fundamental sebagai sentrum perilaku
social ditengah-tengah gejolak kehidupan zaman dari waktu kewaktu utuh dan abadi.
Begitu
kuatnya kearifan local karena dipandang sebagai jati diri dan menjadi nilai
yang melekat pada setiap orang ulumanda (to ulumanda)
Ada dua
poin utama yang menjadi centere krearifan local masyarakat ulumanda yaitu:
1.
Siri’ yang berarti harga diri (nilai
yang melekat pada individu atau kelompok), dan
kehilangan harga diri (pa’da siri’) adalah musibah bagi orang Ulumanda.
Pendalaman tentang siri’ sangat luas dan mendalam di semua sendi kehidupan.
Siri’ kepada Tuhan (pencipta), siri’ kepada manusia (mahluk) dan siri’ kepada
diri sendiri. Secara sederhana siri juga dapat diterjemahkan sebagai rasa malu
(masiri’) karena kehilangan harga/nilai yang melekat pada setiap individu
masyarakat Ulumanda.
2. Lemu’ yang berarti kasih sayang sebagai
wujud kesejatian social yang melekat kuat bagi masyarakat Ulumanda. Lemu dan
siri’ pada dasarnya dua hal yang tidak bisa di pisahkan mengakar kuat dan
menjadi identitas orang Ulumanda.
Mendalami Siri anna lemu ( Harga diri dan kasih sayang
), ketika diuraikan akan menjadi begitu kompleks dan berarti kita telah berada
direlung hati terdalam masyarakat ulumanda.
NIPAENDA’ DI BASSI
Siri menanamkan nilai yang begitu tinggi dan lemu
mengajarkan kasih sayang yang begitu menndalam. Salah satu contoh dapat dilihat
pada ritual Nipaenda’ di Bassi sebuah
ritual penjemputan tamu bagi masyarakat Ulumanda. Nipaenda dari sudut pandang bahasa (etimologi) artinya menginjak
atau ajakan menginjak dan Bassi
artinya besi (benda).
Ada
makna yang sangat mendalam dari ritual ini yakni kelembutan (keramahan) dan
kekuatan (kegigihan) dua kondisi yang sebenarnya bertolak belakang tapi
kemudian menjadi satu, ini dianalogimaknakan dari sifat wujud besi yang dingin
(lembut) dan keras (kuat) sehingga siapa saja yang lahir dan menginjakkan kaki
ditanah Ulumanda harus diterima melalui ritual Nipaenda di Bassi dengan harapan
mewujudkan makna dari ritual ini sebagai Siri’ dan Lemunya orang Ulumanda.
Dahulu
kala konon tak seorangpun boleh menginjak tanah (bungi) di Ulumanda tanpa
didahului oleh ritual menginjak besi, termasuk bayi yang baru lahir dan
beranjak dewasa kaki kacilnya tak boleh menginjak tanah sebelum menginjakkan
kakinya diatas besi. Hal sama ketika orang luar (tamu) masuk dan hendak menjadi
warga Ulumanda harus diterima melalui ritual yang sakral ini.
Kendati
demikian tak bisa dipungkiri dekradasi moral telah turut serta mendistorsi
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal termasuk di masyarakat Ulumanda kekikian.
Pada konteks hari ini hampir sebagian besar masyarakat Ulumanda telah
kehilangan identitasnya oleh karena gejolak kamajuan zaman damn perkembangan
teknologi informasi yang menggilas manusia berbudaya. Akibatnya lahirlah
manusia neo-moderenisme Ulumanda yang
mengedepankan nalar otak kirinya, berpikir individual dan mengabaikan tradisi
leluhur yang sejati menjadi bagian hidup kita.