Budaya


NIPAENDA’ DI BASSI

 Ritual Penjemputan Tamu Masyarakat Ulumanda

Oleh : Eghi Amin

Satu hal yang tidak bisa dinafikan adalah kuatnya culturalisme-sosial ditengah-tengah kehidupan umat manusia. Di hampir semua kehidupan budaya sebagai identitas sosial selalu melekat kuat mengilhami langka para penganutnya kemanapun ia berada. Oleh karena itu pada hakekatnya budayalah  yang menempati kasta tertinggi dalam merespon dialektika kehidupan lakuh social di masyarakat.
Masyarakat ulumanda sebagai element bangsa yang berbudaya tentu tak ketinggalan memposisikan budaya dan kearifan local begitu istimewa, eksotik dan fundamental sebagai sentrum perilaku social ditengah-tengah gejolak kehidupan zaman dari waktu kewaktu utuh dan abadi.
Begitu kuatnya kearifan local karena dipandang sebagai jati diri dan menjadi nilai yang melekat pada setiap orang ulumanda (to ulumanda)
Ada dua poin utama yang menjadi centere krearifan local masyarakat ulumanda yaitu:
1.      Siri’ yang berarti harga diri (nilai yang melekat pada individu atau kelompok), dan  kehilangan harga diri (pa’da siri’) adalah musibah bagi orang Ulumanda. Pendalaman tentang siri’ sangat luas dan mendalam di semua sendi kehidupan. Siri’ kepada Tuhan (pencipta), siri’ kepada manusia (mahluk) dan siri’ kepada diri sendiri. Secara sederhana siri juga dapat diterjemahkan sebagai rasa malu (masiri’) karena kehilangan harga/nilai yang melekat pada setiap individu masyarakat Ulumanda.
2.    Lemu’ yang berarti kasih sayang sebagai wujud kesejatian social yang melekat kuat bagi masyarakat Ulumanda. Lemu dan siri’ pada dasarnya dua hal yang tidak bisa di pisahkan mengakar kuat dan menjadi identitas orang Ulumanda.

Mendalami Siri anna lemu ( Harga diri dan kasih sayang ), ketika diuraikan akan menjadi begitu kompleks dan berarti kita telah berada direlung hati terdalam masyarakat ulumanda.

NIPAENDA’ DI BASSI
Siri menanamkan nilai yang begitu tinggi dan lemu mengajarkan kasih sayang yang begitu menndalam. Salah satu contoh dapat dilihat pada ritual Nipaenda’ di Bassi sebuah ritual penjemputan tamu bagi masyarakat Ulumanda. Nipaenda dari sudut pandang bahasa (etimologi) artinya menginjak atau ajakan menginjak dan Bassi artinya besi (benda).
            Ada makna yang sangat mendalam dari ritual ini yakni kelembutan (keramahan) dan kekuatan (kegigihan) dua kondisi yang sebenarnya bertolak belakang tapi kemudian menjadi satu, ini dianalogimaknakan dari sifat wujud besi yang dingin (lembut) dan keras (kuat) sehingga siapa saja yang lahir dan menginjakkan kaki ditanah Ulumanda harus diterima melalui ritual Nipaenda di Bassi dengan harapan mewujudkan makna dari ritual ini sebagai Siri’ dan Lemunya orang Ulumanda.
            Dahulu kala konon tak seorangpun boleh menginjak tanah (bungi) di Ulumanda tanpa didahului oleh ritual menginjak besi, termasuk bayi yang baru lahir dan beranjak dewasa kaki kacilnya tak boleh menginjak tanah sebelum menginjakkan kakinya diatas besi. Hal sama ketika orang luar (tamu) masuk dan hendak menjadi warga Ulumanda harus diterima melalui ritual yang sakral ini.
            Kendati demikian tak bisa dipungkiri dekradasi moral telah turut serta mendistorsi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal termasuk di masyarakat Ulumanda kekikian. Pada konteks hari ini hampir sebagian besar masyarakat Ulumanda telah kehilangan identitasnya oleh karena gejolak kamajuan zaman damn perkembangan teknologi informasi yang menggilas manusia berbudaya. Akibatnya lahirlah manusia neo-moderenisme Ulumanda yang mengedepankan nalar otak kirinya, berpikir individual dan mengabaikan tradisi leluhur yang sejati menjadi bagian hidup kita.