LENTERA DI BALIK GUNUNG



SD Negeri 17 Kolehalang Desa Panggalo Kec. Ulumanda Majene

     Usai ngampus dari sebuah Universitas swasta di kota Makassar, saya memilih untuk pulang kampung ketimbang harus tinggal di kota mengadu nasib. Bukan soal takut tak mampu menemukan jalan hidup di sana, tetapi kecintaan terhadap kampung halamanlah alasannya mengapa aku harus pulang. Karenanya, aku harus tingalkan kota yang penat dan bising. Aku harus tinggalkan tawaran dosen dari kampus. Harus ku tinggalkan semuanya demi kampung tercinta.
   Alhamdulillah kedatanganku disambut hangat keluarga, sahabat dan para kerabat yang aku tinggalkan lama. Empat tahun lima bulan bukanlah waktu yang singkat aku pergi merantau menuntut ilmu ke kota. Tentu kebahagiaan meyelimuti seluruh keluarga lantaran aku pulang dengan selamat dengan gelar sarjana yang bertahta diatas pundakku. Sungguh aku beruntung dan berbangga kepada kedua orang tuaku yang menyadari betul pentingnya pendidikan dan selalu memberi dukungan, semangat, dan harapan yang tak banyak dimiliki orang tua lain di kampung kami.
       Sahabat, … aku sungguh percaya bahwa dikehidupan ini selalu ada idealisme entah dengan cara apa ia tumbuh, mungkin secara alamiah berkembang. Orang-orang yang baik begitu banyak hidup di bumi ini, tak terkecuali di bumi kita Indonesia. Sayangnya tidak banyak orang baik yang diberikan kesempatan untuk berbuat baik. Orang-orang baik tak diberikan banyak waktu untuk mengelolah negeri ini, justru kebanyakan mereka yang berpura-pura, yang dipoles oleh sebuah pencitraan, merekalah yang banyak mengurus negeri ini. Wajar jika korupsi banyak terjadi di negeri kita.
    Tetapi sudahlah sahabat, aku yakin dan percaya bahwa perubahan pasti lewat, hari baru akan tumbuh berganti, sejarah senantiasa akan mencari aktor baru di setiap zamannya. Aku pun berbenah melihat pemandangan mata orang-orang kampung yang sungguh miris dan melukai setiap jiwa-jiwa yang oleh Tuhan menakdirkannya singgah di kampung kami, di bumi kami. bumi “Timba Ta’bu” gelar untuk sebuah dusun kecil di balik gunung Tandeallo yang maha tinggi terletak di kaki pengunungan Quarles Kab. Majene provinsi Sulawesi Barat. 
    Aku merenungkannya beberapa saat, aku melihat, mendengar, meyaksikan hari-hari yang lewat begitu indah menyenangkan nurani. Pagi dan petang silih berganti, malam tak henti lewat menjumpai siang, semua beraturan tanpa ada yang mendahului takdirnya. Indah sekali alam pengunungan di negeri kecil kami.
   Oh… Taukong namamu Timba Ta’bu, tetapi sungguh memilukan. Dengan mata hatiku aku mengiba pada anak-anak sekolah yang dihadapkan pada takdir kemalangan. Keterbatasan kondisi adalah kemalangan-kemalangan itu. Mereka banyak yang tak beruntung mengenyam pendidikan yang baik. Diantara mereka adapula yang terpaksa harus berhenti belajar lantaran kehidupan yang memaksa untuk dewasa sebelum waktunya. Membantu orang tua dikebun dan sawah, mencari kayu bakar untuk kebutuhan dapur, memikul padi-padi gunung di pagi buta untuk ditumbuk demi makan siang dan malam nanti, mencari rotan untuk di jual ke pasar yang jauh di balik gunung di jalan poros sana, mereka pikul berjam-jam yang melelahkan. Tak sedikit pula yang memilih pergi merantau, ke Kalimantan bahkan pulau Sumatra mereka berkelana untuk meraih kehidupan iming-iming masa depan yang penuh kemewahan. Uang. Itulah cita-cita mereka.
      Bagi ke banyakan orang khususnya anak-anak di kampung kami, bekerja dan menghasilkan uang adalah sebuah keniscayaan untuk bertahan di bumi Tuhan. Mereka tak punya cita-cita, mereka takut dengan impian-impian besar dan menjadi orang besar. Baginya asalkan makan dan bertahan hidup itu jauh dari cukup. Mereka tak menyadari bahwa ilmu adalah sebuah kebutuhan, ilmu adalah cahaya penerang, ilmu adalah lenterah hidup. Dengan ilmu anak-anak akan bersekolah dan menjadi sukses, dengan ilmu tak ada lagi ibu-ibu kampung yang takut berobat ke Puskesmas, atau paling tidak tak tertipu lagi oleh para tengkulap-tengkulap nakal yang mempermainkan harga ketika membeli hasil kakao atau padi-padi mereka dengan sangat murah. Dengan ilmu tak ada lagi perantau yang berpuluh-puluh tahun tinggalkan kampung, lalu ia pulang dengan baju hanya sehelai menempel di badan.
      Sahabat … berbekal pengetahuan sarjanaku yang bersusah paya kucari empat tahun lima bulan, aku memutuskan turun tangan. Aku tak ingin membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Jika selama di kampus aku sering berteriak “revolusi” maka disinilah tempatnya, di kampung halaman sendiri, di dalam rumah sendirilah revolusi pemikiran harus pecah. Tak akan ada darah tumbal di sini, tak akan ada kobaran api atau dentum senjata, tetapi mampukah aku seorang diri mengobarkan semangat revolusi pemikiran?.
      Aku sungguh percaya, bahwa idealisme akan selalu hidup hingga tiada lagi nafas kehidupan di bumi. Aku harus berbuat walau sekecil-kecilnya. “Bismillah” aku memutuskan untuk mengajar anak-anak kampung. Aku mulai dari membentuk kelompok kecil bersama anak-anak tetangga, kami belajar dan bermain, bernyanyi-nyanyi setiap pagi dan petang.
      Keberadaan sekolah memang ada di kampung kami, sayangnya keterbatasan sarana-prasana, guru dan tenaga kependidikan sangat tidak cukup untuk mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri kecil kami. Aku mendapat tawaran dari pihak sekolah untuk bergabung dan mengajar formal di sana. Akupun memutuskan untuk menginfaqkan diri di sekolah tua yang mulai lusuh termakan zaman itu, sebab aku menyadari bahwa mereka, anak-anak itu adalah anak-anak bangsa yang lahir dari rahim ibu pertiwi. Aku ingin berbakti kepada ibu pertiwi dengan mencerdaskan anak-anaknya, tanpa harus berteriak menyalahkan siapa pun.
       Ketika sore hari, aku mengajak anak-anak berkeliling, menyelami alam pegunungan yang indah, belajar dari kurikulum yang diajarkan alam. Aku mengajar Ilmu Pengetahuan Alam dari alam, matematika dan ilmu social langsung dari kehidupan. Tak ada perpustakaan, tak ada internet, tak ada jaringan selulur bahkan listrik sekalipun tidak ada. Kami menikmatinya dengan cara kami sendiri, kami berbangga dan bahagia dengan takaran kebahagiaan kami sendiri pula. Sungguh indah hidup di negeri kami.
        Sorot mata anak-anakku yang indah dan polos ketika menatapku malu-malu, kaki-kaki kecilnya yang hitam legam tersobek-sobek duri, tangan-tangan mungilnya yang mulai keras dan harus keras menghadapi arus kehidupan. “Ya… Tuhan”. Lirihku. Aku ingin menjadi kaos tangan untuk anak-anakku agar jari-jarinya tak tergores kayu dan rumput-rumput dikala pergi ke kebun, aku ingin menjadi sepatu untuk mereka agar kaki-kakinya yang mungil tak lagi legam dan tersobek-sobek. Aku menangis, … tetapi pada akhirnya harus kusadari beginilah cara Tuhan melahirkan kehidupan. Manusia lahir dari perjuangan, di besarkan untuk berjuang dan mati di medan perjuangan. Berjuang untuk hidup, begitualah takdir Tuhan.
      Kami melanjutkan pelajaran sore, aku membimbing anak-anak membuat kabus dari lidi-lidi daun kelapa. Membuat katrol dari kardus-kardus bekas yang dibuang pedagang kios di kampung. Kami berhitung sambil bernyanyi-nyanyi. Anak-anak senang riang gembira dan aku bahagia. Bangga…!!! Terima kasih ya Allah, aku bersyukur. Kelak nanti dari sini akan lahir penerang, lentera di balik gunung Tandeallo, pencerah peradaban ummat manusia. Dari sini kelak akan lahir anak bangsa yang jujur dan adil untuk Indonesia. Amin… !!!