Kisah Anak Negeri II

Disana telah kulihat awan hitam pekat. Matahari tak ada. Siang meremang. Angin berhembus pelan nan lirih, sedang hujan tak henti jatuh dari kaki langit Tuhan.

Memang, sepanjang hari ini hujan deras membuat Mayamba mengamuk. Arusnya menghayutkan segala yang ada di panjang jalan takdirnya.

Aku menyaksikan beberapa Laskar Panggalo murung, wajahnya tak seceria hari kemarin. Bangku-bungku yang kosong pun seolah ikut bicara, kemana arah perjuangan ini pergi.

Tidak, kataku dalam diam ini, para Laskar harus kembali. Aku harus mengantarnya ke gerbang asa, merebut kembali mimpi-mimpi mereka yang sederhana. Mimpi-mimpi mereka yang tak setinggi langit yang ke tujuh, atau seluas samudera Atlantik. Mimpi-mimpi mereka biasa saja, jadi guru atau Imam Masjid sudah cukup.

"Kemarin memang telah pergi, tetapi hari ini matahari telah bertahta kembali di atas puncak Quarles, dan besok tentu hari baru datang lagi dengan sejuta asa" Bisikkku pada para Laskar yang tersisa.

"Kalian belum mengerti jalannya hidup anakku, kalian polos". Kataku lagi tanpa suara.

Disaat yang sama bangku-bangku telah kosong, mereka mencari kemana perginya para Laskar, tetepi mereka kembali tersadar, mereka terdiam, karena amuk amarah Mayamba yang menghadang semua tanya yang patut dipertanyakan.

"Megapa diam anak-anak?" Tanyaku pada Laskar Panggalo. Tetapi, mereka diam lagi. Diam membisu. Bangku-bangku ikut bisu. Burung Bangau bisu, ayam Panggalo bisu, gunung-gunung dan bukit bisu, tetumbuhan dan juga pohon bisu. Semuanya diam membisu kecuali amuk Mayamba yang tak henti melandai Negeri Panggalo. Suaranya menggelegar, baunya menyengat khas lumpur panas. Mayamba marah dan aku seolah yakin kata orang-orang terdahulu di Ngeri ini ada tambang dalam perut bumi yang tak dalam.

Apalah daya seorang manusia, ia hanya mampu berencana dan selebihnya berapologi atas nama kebenaran.
Kini jawaban telah datang. Jelas dan terang benderang, matahari lahir kembali. Tetapi sayang ia bertahta dalam wujud yang lain. Mereka yang telah pergi telah datang membawa kabar jawaban kebisuaan yang lama beku, kini Kalma telah tiada. Siapa lagi yang bermain kalau bukan amuk ganas Mayamba. Semua jelas, anak-anak yang bisu menemukan jalan tanpa tanya.

"Kalma telah hilang, pak guru". Suara pelan merangkak pilu di pagi ini keluar dari bibir mungil sikecil.
Semua mata basah air duka, Laskar Panggalo malang.